Example 468x60
Example 468x60
Pendidikan

DAMPAK NEGATIF DARI PENYEROBOTAN LAHAN YANG TERJADI DI DESA: (KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM) MELALUI KASUS SENGKETA TANAH

91
×

DAMPAK NEGATIF DARI PENYEROBOTAN LAHAN YANG TERJADI DI DESA: (KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM) MELALUI KASUS SENGKETA TANAH

Sebarkan artikel ini

Oleh: Salma Riana

Fakultas Hukum, Universitas Halu Oleo

Example 468x60

Abstrak

Penyerobotan lahan merupakan salah satu bentuk konflik agrarian yang paling sering terjadi di desa. Konflik ini tidak hanya menimbulkan persoalan hukum, tetapi juga berdampak besar terhadap hubungan sosial masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum, artikel ini menganalisis satu kasus konkret penyerobotan tanah yang terjadi akibat sengketa antara pemilik awal, pembeli, dan ahli waris. Kajian ini menggunakan teori-teori utama dalam sosiologi hukum seperti “Living Law” (Eungen Ehrlich), “Solidaritas Sosial” (Emilen Durkheim), dan “Hukum sebagai Alat Kekuasaan” (Max Weber). Hasil analis menjukkan bahwa penyerobotan lahan berdampak buruk terhadap tatanan sosial desa, memicu konflik antarwarga, merusak kepercayaan terhadap hukum negara, dan membuka peluang penyalahgunaan hukum untuk kepentingan pribadi.
Kata Kunci: Penyerobotan Lahan, Sengketa Tanah, Sosiologi Hukum, Konflik agrarian, Hukum Adat (Living Law), Solidaritas Sosial, Hukum Sebagai Alat Kekuasaan, Sertifikat, Perjanjian Sosial, Konflik Sosial, Norma Sosial, Penyalahgunaan Hukum, Hukum Negara.

PENDAHULUAN

Masalah penyerobotan lahan didesa merupakan fenomena yang sering menimbulkan konflik sosial dan hukum. Konflik ini tidak hanya berdampak pada aspek hukum, tetapi juga pada hubungan sosial antar warga. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis dampak negates dari penyerobotan lahan dengan pendekatan sosiologi hukum.

Menurut kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) penyerobotan tanah di atur dalam pasal 385 KUHP “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum menjual, menukar, menyewakan, mengadaikan, memakai sendiri, atau menguasai tanah negara, tanah milik umum atau milik orang lain yang penguasaannya tidak disertai dengan surat hak yang sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Artinya: Jika seseorang menduduki atau menggunakan tanah tanpa hak atau dokumen resmi, maka itu dianggap sebagai tindakan penyerobotan dan dapat dikenakan hukuman pidana.

Penyerobotan tanah seringkali terjadi akibat lemahnya pemahaman hukum masyarakat desa terhadap perjanjian dan hak kepemilikan tanah, ditambah dengan minimnya pengawasan dari pihak berwenang. Kasus yang terjadi di bannyak desa melibatkan transaksi informal, jaminan tanah, serta perbedaan pengakuan atas hak kepemilikan yang akhirnya berujung pada konflik sosial dan hukum.

METODE PENELITIA

Penulis artikel ini mengunakan pendekatan kualitatif deskriptif, yaitu dengan menggambarkan secara rinci dan sistematis kasus penyerobotan lahan yang terjadi di lingkungan desa. Metode ini dipilih karena masalah yang dikaji bersifat kompleks dan berkaitan erat dengan dinamika sosial, moral, dan hukum yang hidup di Tengah masyrakat desa. Fokus utamanya adalah untuk memahami konflik dari sudut pandang pelaku, masyrakat, dan dampak sosial yang ditimbulkan. Pendekatan yang digunakan adalah studi kasus, dengan mengangkat satu kasus sengketa tanah yang mencerminkan permaslahan umum yang sering terjadi di desa. Kasus ini di paparkan mulai dari kronologi awal terjadinya perjanjian, proses penyerahan tanah, hingga munculnya gugatan pemilik awal. Penelusuran dilakukan berdasarkan hasil wawancara dari sisi si C (pembeli tanah). Analis dilakukan secara mandiri dengan menggali nilai-nilai sosial, bentuk-bentuk pengakuan hukum lokal, serta konsekuensi sosial dari konflik tersebut.

PEMBAHASAN

1. Kronologi

Awalmulanya yang punya tanah ini meminjam uang pribadi si A (si pemilik uang yang di pinjam) dengan bunga 10% ada surat perjanjian dengan pernyataan apa bila si B (si peminjam uang) tidak bisa mengembalikan uang jaminannya tanah miliknya akan secarasah menjadi milik si A beberapa tahun kemudian si peminjam mengaku tidak bisa mengembalikan uang menyerahkan jaminan debagan pernyatan menyerahkan jaminan sebagai bayaran hutang. Beberapa bulan kemudian si A menjual tanah tersebut. Beberapa tahun kemudian anak si B menuntut si C (pembeli tanah). Seteh itu si B merasa si C menyerobot tanah miliknya. Oleh karena itu, si B menuntut pertama karena si C menebang pohon di tanah itu, dan kedua keluarganya menuntut dengan menegembalikan uang dengan harga yang tidak sesuai dengan si C membeli tanah tersebut. Ketiga si B menuntut dengan dalih memiliki sertifakat tanah. Si B mengancam jika si C tidak mau membayar tanah itu maka si B akan membawa kasus ini ke jalur hukum karena kalau tidak memberikan sertifikat yang ia miliki. Si C karena merasa membeli resmi tanah ini dan berhasil menerbitkan sertifikat tanah itu dengan resmi beserta tanah yang ada di dalam dan tidak mau lagi membayar tanah itu kepada si B. Namun sertifikat tanah yang dimiliki si B ini sudah tidak sesuai dengan tanah yang di beli si C. Di tahun 2025 dia datang menuntut bahwa sertifikat tanah ini di pegang oleh anak si B dan si C harus membayar sertifikat sesuai dengan harga tanah yang dibeli. Pada dasarnya sebelum tanah ini dijadiakn jaminan sertifikatnya dikatakan tidak ada. Kapan tanah itu di jual tgl-01-januari-2005: Pada saat tanah ini di jual tanah ini dinyatakan tidak memiliki sertifikat. Oleh karena itu si C menerbitkan sertipikat tgl-07-November-2011. Pernah bermusyawarah: Anak si B datang bermusyawarah dengan alasan memiliki sertifikat tanah dan meminta Si A membayar sertipikat itu sesuai dengan tanah yang di beli.

Adapun isi surat perjanjiannya adalah: Karena saya tidak memiliki uang tunai maka saya searahkan tanah yang kami iliki sekarang di dekat jalan raya dan beserta tanaman jambu mente kepada si A sebagai pembayaran tersebut surat penyatan kepada si A sebagai pembayaran tersebut surat pernyatan ini sebagai bukti penyerahan tanah saya terebut seluas 3 hektar bersama dengan tanaman yang ada di dalamnya dengan demikian surat pernyataan ini di buat tanpa ada paksaan dari siapapun juga kemudian saya tanda tangani dan disaksikan oleh pemerintah desa dan dan keluarga saya. Surat perjanjian di buat tgl-24-Desember-2003, Didalam surat perjanjian ada ttd Si B, keluarganya dan Si A. Surat penyerahannya tgl-10-Oktober-2004. Di surat penyerahan ada ttd kepala desa, Si B, keluarganya dan Si A.

2. Kajian Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum memandang hukum bukan hanya sebagai aturan tertulis, tetapi sebagai dari kehidupan sosial Masyarakat (living law) lebih dipatuhi daripada hukum negara. Dibawah ini beberapa pendekatan utama dalam sosiologi hukum yang bisa menjelaskan kasus ini.

 Teori “Living Law”- Eugen Ehrlich

Hukum yang berlaku sebenarnya adalah hukum yang benar-benar hidup dan diterapkan dalam dalam masyarakat, bukan hanya yang tertulis di buku hukum.
Contoh dari kasus ini: Ketika si B menyerahkan tanahnya sebagai pembayaran utang ke si A (dengan surat tertulis dan disaksikan oleh kepala desa dan keluarha si B), masyarakat menganggap tanah itu sah sudah menjadi milik si A.

Menurut teori “living law”, perjanjian itu sudah sah di mata masyarakat meskipun tidak ada sertifikat dan seharusnya dihormati. Namun ketika anak si B datang setelah bertahun-tahun kemudian dan menuntut ulang, maka ia tidak menghormati hukum yang telah hidup di masyarakat.

 Teori “Hukum Dan Solidaritas Sosial” Emile Durkheim

Hukum berfungsi menjaga ketertiban dan keharmonisan masyarakat. Jika hukum dilanggar atau tidak dihormati, maka akan timbul konflik sosial. Masyarakat solidaritas pedesaan, tradisional, dimana hubungan sosial dibentuk oleh kesamaan nilai, kepercayaan dan adat istiadat.

Contoh dari kasus ini: Setelah tanah diserahkan, semua pihak hidup rukun. Tapi ketika anak si B datang membawa sertifikat dan menuntut ulang tanah itu, masyarakat jadi bingung, muncul perpecahan, bahkan ada ancaman hukum.

Emile Durkheim menjelaskan bahwa konflik seperti ini terjadi karena masyarakat desa lebih tunduk pada norma sosial ketimbang hukum negara. Ketika hukum sertifikat di negara tidak sesuai dengan hukum sosial (perjanjian desa), bisa terjadi kerusakan hubungan sosial. Hukum seharusnya menjaga kedamaian, bukan membuat keributan baru.

 Teori “Hukum Sebagai Alat Kekuasaan” Max Weber

Hukum kadang digunakan oleh pihak yang lebih kuat atau punya akses untuk mengambil keuntungan, bukan untuk menegakkan keadilan.

Contoh dari kasus ini: Anak si B datang membawa sertifikat sebagai alat bukti kepemilikannya, padahal tanah sudah dijual 2005. Dia memaksa si C untuk membayar ulang atau menyerahkan tanah, meskipun si C sudah membeli tanah itu secara sah dan sudah menrbitkan sertifikattanah yang baru.

Ini menunjukkan bahwa hukum bisa disalah gunakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan pribadi. Padahal secara sosial dan moral, ha katas tanah itu sudah tidak dimiliki si B.

3. Dampak Negatif Yang Timbuh

Kasus ini melibatkan berbagai dampak sosial hukum: Living law (Eungen Ehrlich), Solidaritas sosial (Emile Durkheim), dan Hukum Sebagai Alat Kekuasaan (Max Weber).

 Dampak Sosial dan Moral (Living law Eungen Ehrlich)

 Terganggunya ketertiban sosial local
Masyarakat desa sebelumnya menerima bahwa tanah sudah sah diserahkan ke si A karena ada surat perjanjian dan disaksikan kepala desa serta keluarga si B. Ketika anak si B datang menuntut Kembali tanah tersebut dengan sertifikat lama, ia dianggap tidak menghormati hukum yang hidup di masyarakat (hukum sosial/living law).

 Ketidak hormatan terhadap kesepakatan
Penyerahan tanah oleh si B kepada si A merupakan bentuk pengakuan dan kesepakatan sosial. Jika hal ini digugat Kembali oleh anak si B, maka terjadi pengigkaran terhadap norma sosial.

 Dampak Ketertiban dan Harmoni Sosial (Solidaritas sosial Emile Durkheim)

 Konflik dan perpecahan antarwarga
Masyarakat menjadi bingung karena ada dua versi hukum: versi perjanjian local (tanah sudah sah diserahkan) dan versi hukum negara (sertifikat lama masih dipegang anak si B). Ini menimbulkan ketegangan, keresahan, dan perpecahan antara keluarga si B dan si C.

 Hilangnya rasa percaya terhadap keadilan
Ketika hukum negara (sertifikat) tidak sejalan dengan hukum masyarakat (perjanjian local), masyarakat bisa merasa bahwa hukum justru menimbulkan kekacauan, bukan kedamaian.

 Rusaknya solidaritas pedesaan
Hubungan sosial yang dibangun atas dasar kepercayaan dan nilai bersama menjadi retak karena salah satu pihak (anak si B) menggunakan alat negara (sertifikat) untuk membatalkan kesepakatan sosial yang telah lama diterima.

 Dampak Penyalahgunaan Hukum (Hukum Sebagai Alat Kekuasaan Max Weber)

 Sertifikat dijadikan alat tekanan
Anak si B menggunakan sertifikat lama sebagai alat untuk memaksa si C membayar disalah gunakan demi kepentingan pribadi, bukan keadilan.

 Ancaman jalur hukum untuk keuntungan pribadi
Si B mengancam akan membawa ke ranah hukum jika si C tidak membayar ulang tanah tersebut. Padahal, secara sosial dan moral, hak atas tanah itu sudah tidak lagi dimiliki oleh pihak si B sejak tahun 2004-2005.

 Kerugian terhadap pemilik sah
Si C dirugikan karena: Telah membeli tanah secara resmi (sah), Telah menerbitkan sertifikat baru (2011), dan Tetap dituntut dengan dasar sertifikat lama yang sudah tidak sesuai dengan letak tanah yang dibeli si C.

4. Solusi

 Validasi ganda berbasis komunitas

Masyarakat desa harus membentuk tim verifikasi tanah desa independent yang terdiri dari perwakilan warga, toko adat, dan perangkat desa. Tim ini bertugas mencatat semua bentuk transaksi tanah, baik informal maupun formal. Mereka tidak menggantikan BPN (Badan Pertanahan Nasional), tetapi berfungsi sebagai penguat dokumentasi local dan bukti sosial jika terjadi sengketa di masa depan. Manfaat: mengurangi celah konflik karena semua transaksi terekam dalam arsip desa dan diketahui masyrakat luas.

 Pengakuan formal terhadap bukti sosial

Dalam konflik seperti ini, sering kali surat pernyataan yang diserahkan kepala desa tidak dianggap cukum kuat oleh hukum negara. Solusinya adalah mendorong pemerintah desa untuk memiliki mekanisme legalisasi internal terhadap surat sosial, yaitu setiap surat transaksi local yang disaksikan tokoh masyrakat dapat dimintakan “penguatan legal” ke pertanahan melalui jalur khusus desa. Manfaat: surat yang tadinya memiliki nilai sosial, bisa memiliki pengaruh hukum formal bila di perkuat lebih awal.

 Batas waktu gugatan ha katas tanah versi desa

Pemerintah desa dapat menetapkan aturan lokal (peraturan desa) yang menyatakan bahwa setiap gugatan atas tanah yang sudah ditransaksikan lebih dari 10 tahun tidak lagi diterima, kecuali ada bukti penipuan atau manipulasi saat awal transaksi. Manfaat: menghindari sengketa yang muncul dari anak-cucu pemilik lama yang baru “sadar” memiliki hak setelah belasan tahun.

 Forum rekonsiliasi sosial tanpa biaya

Desa membentuk forum rekonsiliasi adat dan sosial yang menyelesaikan konflik secara mediasi tanpa biaya hukum. Pihak-pihak yang bersengketa harus menjalani proses ini terlebih dahulu sebelum ke jalur hukum formal. Forum ini menyusun kesepakatan tertulis berdasarkan musyawarah dan rekam sejarah sosial tanah. Manfaat: masyarakat mendapatkan ruang keadilan yang dekat, murah, dan bisa menghindari kriminalisasi yang sering terjadi karena ketidaktahuan hukum.

 Digitalisasi arsip desa

Semua transaksi pertanahan, perjanjian utang-piutang, surat penyerahan tanah, dan pernyataan saksi, harus diarsipkan secara digital oleh pemerintah desa. Akses terbatas bisa diberikan kepada warga dengan sistem nomor identifikasi agar tidak mudah disalah gunakan, tapi tetap transparan. Manfaat: ketika terjadi sengketa, semua data terdokumentasi dengan jelas dan tidak hanya bergantung pada ingatan atau dokumentasi fisik yang rawan hilang atau dimanipulasi.

 Edukasi mandiri tentang hukum tanah oleh desa

Daripada mengandalkan penyusunan dari luar yang jarang datang, desa bisa mengembangkan program edukasi internal tentang dasar-dasar hukum tanah. Bisa berupa pelatihan rutin yang diberikan oleh tokoh masyrakat yang sedang KKN (Kuliah Kerja Nyata). Manfaat: masyrakat desa jadi lebih paham hak dan kewajiban mereka tanpa harus selalu bergantung pada pengacara atau pihak luar.

 Kesepakatan antargenerasi

Sebelum seseorang menyerahkan tanah sebagai jaminan atau menjualnya, perlu ada kesepakatan tertulis antargenerasi yang ditandatangani oleh anak-anaknya sebagai tanda bahwa mereka tahu dan menyetujui keputusan tersebut. Hal ini mencegah anak atau ahli waris menuntut Kembali tanah di masa depan. Manfaat: meminimalkan konflik antar keturunan dan mencegah sengketa ulang seperti kasus si B dan anaknya.

PENUTUP

Kasus penyerobotan tanah di desa menunjukkan betapa pentingnya singkronisasi antara hukum negara dan hukum sosial masyrakat. Ketika hukum negara tidak mampu mengakomodasi realitas sosial, konflik akan terus terjadi. Dalam konteks ini, pendekatan sosiologi hukum memberikan pemahaman yang lebih menyeluruh terhadap dinamika sosial yang tidak tertangkap oleh norma hukum tertulis semata. Oleh karena itu, penyelesaian konflik agraria di desa harus memperhatikan keberdaan “living law” dan keharmonisan sosial agar hukum dapat ditegakkan secara adil dan bermoral.

SUMBER TULISAN

Diambil dari kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), (pasal 385).
surat perjanjian tanah antara pihak A dan B, disaksikan kepala desa.Durkheim, Emile. (1984). The Division of Labour in Society. London: Macmillan.
Weber, Max. (1978). Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Berkeley: University of California Press.
Ehrlich, Eugen. (2002). Fundamental Principles of the Sociology of Law. New Jersey: Transaction Publishers.
Durkheim, Emile. (1984). The Division of Labour in Society. London: Macmillan.
Weber, Max. (1978). Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Berkeley: University of California Press.
Ehrlich, E. (1936). Fundamental Principles of the Sociology of Law (W. L. Moll, Trans.). Cambridge: Harvard University Press.
Durkheim, É. (1984). The Division of Labor in Society (W. D. Halls, Trans.). New York: Free Press. (Original work published 1893)
Weber, M. (1978). Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology (G. Roth & C. Wittich, Eds.). Berkeley: University of California Press.
Sejalan dengan teori Eugen Ehrlich – Living Law, hukum yang hidup di masyarakat
Sejalan dengan teori Legal pluralism, dan kritik terhadap formalisme hukum
Sejalan dengan teori Praktik hukum adat dan hukum positif (dalam asas kadaluarsa)
Sejalan dengan teori Restorative Justice, pendekatan sosiologi hukum
Sejalan dengan teori Pendekatan modernisasi hukum dan administrasi partisipatif
Sejalan dengan teori Legal empowerment, konsep pemberdayaan hukum masyarakat
Sejalan dengan teori Pencegahan konflik melalui preventive legal culture.