BUTON SELATAN – Polemik seputar tata kelola pemerintahan kembali menyeruak di Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara. Wilayah yang baru berusia berapa tahun pascamelepas diri dari Kabupaten Buton ini kembali menjadi pusat perhatian nasional, kali ini melalui kontroversi Surat Keputusan Bupati Nomor 171 Tahun 2025, yang mencabut sejumlah SK pengangkatan pejabat.
Hasil penulusuran tim media, bahwa mengungkap terkait perkembangan Sejak awal berdiri, Buton Selatan dibayang-bayangi persoalan klasik: tarik menarik kepentingan politik, ketergantungan fiskal terhadap pusat, hingga PAD yang stagnan di angka sekitar Rp7 miliar per tahun.
Namun, situasi birokrasi kian rumit setelah pelantikan dan mutasi pejabat eselon pada 18 Februari 2025 yang dilakukan tanpa izin teknis dari Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sebuah kekeliruan prosedural yang kemudian memaksa BKN turun tangan dengan perintah tegas: seluruh proses dikembalikan ke posisi semula.
Sebagai tindak lanjut, Bupati Buton Selatan bersama Pj. Sekda dan Kepala BKPSDM melakukan konsultasi ke Kantor Pusat BKN di Jakarta. Langkah itu menghasilkan keputusan strategis yang dituangkan dalam SK Bupati Buton Selatan Nomor 171 Tahun 2025 tertanggal 18 Juni 2025. SK ini mencabut empat SK sebelumnya: Nomor 37, 38, 39, dan 40 Tahun 2025, yang menjadi dasar mutasi dan pengangkatan pejabat ASN.
Dalam konsiderannya, SK 171 menyebut mutasi Februari 2025 tidak sesuai prosedur perundang-undangan. Oleh karena itu, seluruh pejabat yang terkena dampaknya baik promosi, demosi, mutasi antarinstansi, maupun yang diberhentikan harus dikembalikan ke posisi awal.
Namun, yang terjadi di lapangan menunjukkan kenyataan yang berbeda. Beberapa pejabat yang seharusnya kembali ke jabatannya, seperti Kepala BPKAD dan Kepala Dinas Kesehatan, justru tidak mendapatkan haknya. Kursi mereka diisi oleh nama baru. Bahkan, pengangkatan Plt. Kepala ULP turut menjadi pertanyaan, karena sebelumnya jabatan tersebut sudah mendapatkan petunjuk teknis dari BKN serta persetujuan Kemendagri.
Lebih jauh, pencabutan SK 171 tak menyentuh SK 40 Tahun 2025 yang mengatur pemberhentian Sekretaris Daerah. Padahal, SK tersebut diterbitkan bersamaan dengan SK-SK lainnya yang dicabut. Ketidakkonsistenan ini menimbulkan spekulasi adanya praktik tebang pilih dalam penegakan aturan dan kebijakan.
Sejumlah pihak menilai bahwa dinamika tersebut bukan hanya soal administrasi, tapi telah masuk dalam ranah dugaan kepentingan politik. Beberapa spekulasi mengaitkan kebijakan tersebut dengan pengendalian proyek pengadaan barang dan jasa, serta upaya melanggengkan dominasi politik tertentu dalam birokrasi. Ketidakkonsistenan dalam pelaksanaan SK 171 bahkan dianggap mencerminkan ketidakmampuan kepala daerah dalam menyelesaikan persoalan secara tuntas dan adil.
Kinerja Bupati Buton Selatan, Muhammad Adios, pun mulai menjadi sorotan. Program-program yang dipublikasikan sebagai hasil kerja 100 hari pertama pemerintahannya, rupanya merupakan warisan dari pejabat sebelumnya. Proyek penyalaan listrik PLN di Kecamatan Batu Atas, misalnya, adalah inisiatif Pj. Bupati Ridwan Badallah. Sementara itu, perencanaan Kantor Bupati yang dirancang oleh Pj. Parenringi kini justru dialihkan ke lokasi lain, hanya dengan alasan kontor tanah yang tidak cocok tanpa penjelasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pakar administrasi publik menilai bahwa jika SK 171 ingin dijalankan secara adil, maka semua ASN yang terdampak mutasi 18 Februari harus dikembalikan ke posisinya semula tanpa diskriminasi. SK 40 tentang pemberhentian Sekda pun seharusnya ikut dicabut, agar kebijakan pengembalian ini tak menimbulkan kesan manipulatif.
Kondisi ini membuat atmosfer birokrasi di Buton Selatan tidak sehat. ASN yang merasa dirugikan disarankan menempuh jalur hukum demi mendapatkan kepastian dan keadilan administratif. Pemerintah pusat, dalam hal ini BKN dan Kemendagri, didesak untuk melakukan audit menyeluruh terhadap kebijakan kepegawaian dan tata kelola pemerintahan di Busel.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, berbagai upaya klarifikasi dari pihak media terhadap pejabat terkait belum membuahkan hasil. Bupati Buton Selatan belum dapat dihubungi, sementara Wakil Bupati juga tidak menjawab panggilan telepon. Sekda disebut masih dalam perjalanan laut, sehingga belum bisa dimintai keterangan. Kepala BKD, saat dikonfirmasi, hanya menyatakan bahwa seluruh kewenangan berada di tangan Sekda ujarnya Jumat (27/6/2025)
Kisruh ini menunjukkan bahwa birokrasi daerah bisa menjadi medan pertarungan kepentingan jika tidak dijaga dengan tata kelola yang bersih dan transparan. SK 171 Tahun 2025 seharusnya menjadi titik balik, bukan justru babak baru dari kekisruhan birokrasi di Buton Selatan.
Sumber : Kongkritpost.