BUTON UTARA – Anggota Komisi Pengawasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi (KPK-Tipikor) Wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra), Laode Yus Asman, angkat bicara mengenai dugaan pemotongan Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Buton Utara.
Asman mengungkapkan bahwa pemotongan TPP terhadap Guru ASN Non Sertifikasi yang mendapatkan Dana Tambahan Penghasilan (Tamsil) berpotensi menjadi praktik pungutan liar (Pungli) dan indikasi adanya korupsi.
Menurutnya, Dana Tamsil yang bersumber dari pemerintah pusat tidak seharusnya dipengaruhi atau dipotong oleh pihak daerah.
Tamsil diberikan kepada guru ASN Non-Sertifikasi yang belum memiliki sertifikat pendidik untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
“Pemotongan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Butur dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dapat merugikan hak para guru,” ucap Asman, Selasa (17/12/2024).
Ia juga mencatat bahwa meskipun mungkin ada regulasi yang mengatur hal tersebut melalui peraturan bupati (Perbup), Dinas Pendidikan harus transparan dan menjelaskan secara rinci mengenai aturan tersebut.
Kejanggalan muncul ketika dana Tamsil, yang berasal dari pusat, dipotong oleh pihak daerah tanpa dasar hukum yang jelas.
“Saya akan terus menyelidiki lebih lanjut kasus ini untuk memastikan kebenarannya dan untuk menindak tegas jika ada bukti pelanggaran atau korupsi terkait pengelolaan anggaran TPP,” tegas Asman yang juga Selaku Ketua Barisan Relawan Prabowo Nusantara (BRPN) Butur ini.
Sebelumnya, Ketua DPW YL FHI Sultra sekaligus LBH Nusantara, R. Mustafa angkat bicara terkait persoalan tersebut.
Berdasarkan investigasinya mengungkapkan bahwa pemotongan dan pengembalian uang Tamsil terjadi setiap kali TPP dibayarkan.
Ia menjelaskan bahwa meskipun TPP dipotong untuk seluruh pegawai Buton Utara, terdapat kejanggalan terkait pengembalian uang Tamsil kepada guru-guru yang belum bersertifikat.
Tamsil, yang merupakan anggaran dari pemerintah pusat, seharusnya tidak terpengaruh dengan pemotongan TPP, karena sesuai dengan aturan Permendikbud Nomor 19 Tahun 2019.
“Sesuai dengan hasil investigasi kami, kami menemukan bahwa setiap kali TPP dibayarkan, guru yang belum bersertifikasi harus mengembalikan sejumlah uang Tamsil. Misalnya, guru-guru SD yang menerima TPP setiap 6 bulan, dipotong sebesar Rp 1.500.000 setiap kali pengeluaran TPP, meskipun anggaran Tamsil tersebut sudah masuk ke rekening mereka setiap 3 bulan sekali,” ungkap R. Mustafa A, Sabtu (14/12/2024).
Lebih lanjut, R. Mustafa menyayangkan adanya pemotongan tersebut yang dilakukan tanpa keterangan atau tanda tangan dari guru-guru yang bersangkutan.
Hal ini, menurutnya, menjadi alasan utama bagi YL FHI untuk melakukan investigasi lebih lanjut hingga ke Dinas Keuangan, guna mengetahui kemana dana potongan tersebut disalurkan.
“Kami akan melanjutkan penyelidikan dan mencari tahu apakah uang potongan tersebut masuk ke rekening daerah atau kemana. Selain itu, kami juga akan mengirimkan surat kepada pihak pusat untuk menanyakan soal pemotongan Tamsil bagi guru-guru non-sertifikasi,” tegasnya.
YL FHI berharap agar masalah ini segera mendapat perhatian serius dari pihak terkait, termasuk Dinas Keuangan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, untuk memastikan hak-hak guru non-sertifikasi dapat diterima dengan baik tanpa adanya pemotongan yang tidak sah.
Sebelumnya diberitakan, Sejumlah guru ASN Non Sertifikasi di Kabupaten Buton Utara (Butur), Sulawesi Tenggara (Sultra), mengeluhkan penyaluran uang Tambahan Penghasilan yang juga dikenal dengan anggaran Tamsil.
Pasalnya, beberapa guru yang menerima Tunjangan Profesi Pendidik atau TPP dari daerah, terpaksa harus mengembalikan sebagian uang yang diterima, yakni uang Tamsil yang berasal dari anggaran pusat.
Beberapa Guru-guru ASN Non Sertifikasi tersebut mengungkapkan kebingungannya, karena mereka menerima uang Tamsil yang disalurkan setiap tiga bulan sekali, namun pada saat menerima TPP, pihak Dinas Pendidikan Butur meminta mereka untuk mengembalikan uang tersebut.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan para guru, mengingat dana Tamsil bersumber dari anggaran pusat.
Tamsil merupakan tunjangan yang diberikan khusus kepada guru ASN yang belum memiliki sertifikat pendidik, sesuai dengan Permendikbud Nomor 19 Tahun 2019.
Tunjangan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan semangat kerja bagi guru-guru yang belum lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG). Setiap guru yang memenuhi kriteria mendapatkan Tamsil sebesar Rp 250.000 per bulan, yang pencairannya dilakukan setiap tiga bulan sekali.
Seorang guru ASN Non Sertifikasi yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan, Ia menerima uang Tamsil setiap tiga bulan, namun saat menerima TPP, pihak Dinas Pendidikan menyuruh kami untuk mengembalikannya.
Guru tersebut mempertanyakan alasan pemotongan tersebut, mengingat dana Tamsil berasal dari pusat dan TPP merupakan anggaran daerah.
Guru tersebut menambahkan, meskipun pemotongan Rp 50.000 per bulan untuk ongkos kerja tidak menjadi masalah karena sudah ada kesepakatan bersama, namun pemotongan uang Tamsil saat pencairan TPP dirasa tidak wajar.
“Dalam setahun, kalau dihitung, setiap guru bisa dipotong hingga Rp. 3 juta,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Plt Kasubag Kepegawaian Dinas Pendidikan Butur, Arzak, mengakui adanya pemotongan tersebut. Ia menjelaskan bahwa hal ini disebabkan oleh keterbatasan anggaran daerah.
“Betul, hanya saja di Butur anggaran terbatas, sehingga pemerintah daerah mengusulkan agar jika ada pegawai yang menerima Tamsil, maka TPP-nya dikurangi sebesar nilai Tamsil,” jelas Arzak melalui pesan WhatsApp pada Kamis (12/12/2024) malam.
Arzak memberikan contoh, jika seorang guru memiliki TPP Rp1 juta dan menerima Tamsil sebesar Rp 250.000, maka TPP yang bersangkutan akan berkurang menjadi Rp750.000.
“Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup),” katanya.
Arzak juga menegaskan bahwa meskipun ada pemotongan tersebut, tidak ada pihak yang dirugikan karena semuanya telah diatur dalam pedoman sesuai Perbup yang berlaku.
Ia menambahkan, Ada daerah yang meskipun sudah menerima sertifikasi tetap dapat TPP, namun kembali lagi kepada kemampuan anggaran daerah masing-masing.
“Setau saya ada daerah yang bahkan sudah Terima sertifikasi tetap dapat TPP hanya kembali lagi ke kemampuan daerah masing-masing,” tutupnya.